Banyak startup populer di Indonesia yang melakukan cara unik dalam mengembangkan bisnis, mulai dari Bukalapak, Tokopedia, Traveloka, hingga Go-Jek.
Berbeda dengan bisnis biasa yang cenderung mengincar keuntungan, para startup tersebut justru terus "membakar" uang untuk memasang iklan atau menurunkan tarif demi mendapatkan banyak pengguna.
Fenomena ini pun memancing komentar negatif dari banyak pihak, termasuk tulisan yang satu ini. Bisnis startup di Indonesia dianggap tak ubahnya seperti sebuah fatamorgana yang lambat laun akan hilang.
Nasibnya bakal berujung seperti batu akik dan tanaman anturium. Muncul, membuat heboh, lalu lenyap seperti asap. Benarkah demikian?
Bisnis baru yang masih misterius
Konsep "membakar" uang seperti yang dilakukan berbagai startup di tanah air sebenarnya merupakan hal yang sering dilakukan dalam buku The Third Wave bagaimana ia akhirnya berhasil mengajak masyarakat Amerika Serikat di tahun 1990-an untuk mencoba sebuah teknologi baru yang bernama internet.
Bagaimana caranya? Ia membagikan jutaan CD kepada para penduduk Amerika Serikat dan menghabiskan dana sekitar US$ 300 juta (sekitar Rp 3,9 triliun).
Menurut Indrasto Budisantoso, CEO jojonomic, cara seperti ini pun telah dilakukan oleh perusahaan-perusahaan telekomunikasi di Indonesia yang dahulu ramai-ramai membangun menara pemancar alias BTS meski belum banyak yang menggunakannya. BCA pun pernah mengambil langkah serupa, bank satu ini memasang ATM di berbagai tempat meski belum banyak yang menggunakan kartu debit mereka.
Jadi tidak semua bisnis yang mempunyai "rapor merah" di awal pasti tidak akan mendapat keuntungan di kemudian hari. Mereka hanya perlu menunggu untuk sampai pada satu titik saat mereka bisa meraih keuntungan dalam jumlah yang mereka alami di awal.
Lalu mengapa banyak orang khawatir dengan kelangsungan bisnis startup yang saat ini juga menggunakan strategi "membakar" uang? Hal tersebut lebih karena keraguan mereka terhadap model bisnis startup di tanah air yang memang masih tergolong sangat baru.
Bagaimana cara startup tanah air mendapatkan uang?
Tulisan artikel di atas secara tersirat meragukan kelangsungan bisnis startup di tanah air seperti Bukalapak, Tokopedia, dan Go-jek karena dua alasan. Pertama, karena startup di tanah air belum mempunyai pola monetisasi yang efektif. Kedua, karena mereka kini harus berhadapan dengan pihak asing.
Untuk alasan yang kedua sepertinya hanya waktu yang bisa menjawab apakah founder startup di tanah air mampu "adu kreatif" dengan para pemain asing. Namun perihal pola monetisasi, startup di tanah air sepertinya sudah menunjukkan perkembangan yang positif.
Go-jek contohnya, jelas bisa mendapat pemasukan dari komisi yang mereka tarik dari setiap transaksi. Suatu saat nanti, mereka bisa berhenti memberikan berbagai promo dan menetapkan tarif yang sesuai hingga mereka bisa meraih keuntungan yang maksimal.
Berbeda dengan Go-jek, Tokopedia juga punya cara khusus untuk mendapat pendapatan, meski belum mau membocorkannya secara rinci.
Pertanyaan berikutnya, adakah startup Indonesia yang bisa menghasilkan uang? Jawabnya adalah ada. Neraca eCommerce Indonesia saat ini sudah menunjukkan angka positif. Aplikasi pemesanan tiket BookMyShow pun sudah mendapat keuntungan dari setiap tiket yang mereka jual.
Deretan nama di atas tentu hanyalah segelintir contoh. Selain mereka, masih banyak startup lain yang juga telah menemukan pola monetisasi efektif atau bahkan meraih keuntungan meski masih enggan untuk memberikan informasi.
Optimisme investor yang bukan tanpa alasan
Ada startup yang bersinar setelah membakar uang, namun banyak pula yang menjadi abu. Tak sedikit founder startup di tanah air yang gagal menemukan cara monetisasi yang efektif setelah menggunakan uang investor besar-besaran. Inilah yang kemudian menyebabkan beberapa startup di tanah air seperti Shopius, Valadoo, hingga Abaresto akhirnya memutuskan untuk menghentikan layanan.
Dalam bisnis, kegagalan merupakan sesuatu yang lumrah dan bisa menjadi pembelajaran ke depan supaya bisa lebih baik. Namun hal itu tidak serta merta membuat keseluruhan bisnis startup menjadi sebuah fatamorgana. Buktinya, para investor saat ini masih terus memberikan pendanaan kepada startup tanah air, yang artinya mereka masih punya kepercayaan terhadap pasar di Indonesia. Mereka masih optimistis startup bakal bercahaya.
Kesimpulan
Tidak ada masalah dengan model bisnis startup yang cenderung membakar uang, asal para founder startup tersebut terus berusaha mencari pola monetisasi yang efektif agar kelak bisa mendapatkan keuntungan.
Apabila gagal, mereka harus belajar dari pengalaman dan segera bangkit dengan ide-ide yang lebih baik.
Pendampingan dari para mentor dan investor serta kehadiran berbagai program inkubator dan akselerator di tanah air juga diharapkan bisa membantu para founder Indonesia agar tidak terjebak "membakar" uang terus menerus yang berujung jadi asap dan abu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar