New South China Mal dibangun Hui Guirong dengan ambisius pada 2005 di Provinsi Guangdong, Tiongkok. Guirong ingin menjadikan mal ini sebagai pusat perbelanjaan paling megah di dunia. Bagian luar mal dihiasi ratusan pohon palem dan replika Arc de Triomphe, Sphinx Mesir raksasa, air mancur, dan kanal-kanal panjang. Arsitektur bangunannya dibagi dalam tujuh zona yang menggambarkan ikon surga belanja dunia: Amsterdam, California, Karibia, Mesir, Paris, Roma, dan Venesia.
Tak hanya dibangun ribuan toko belanja, tapi juga beragam sarana rekreasi keluarga dari gondola hingga roller coaster. Angan-angan Guirong, mal ini bisa menggaet sekitar 100 ribu pengunjung saban hari. Tapi harapan itu tidak pernah menjadi kenyataan. Bangunan seluas 660 ribu meter persegi di lahan 89,2 hektare itu kosong melompong. Dari 2.350 toko yang tersedia, hanya ada 47 yang terisi. CNN menyebutnya sebagai mal hantu.
Di Amerika Serikat, situasinya lebih mengerikan. Mal-mal di sana mengalami masa-masa sakaratul maut. Dalam 10 tahun mendatang, 15 persen mal-mal Amerika diprediksi bakal gulung tikar. Ancaman ini tidak hanya menimpa mal kelas bawah, tapi juga mal kelas atas dengan luas mencapai 1,1 juta kaki persegi.
Apa yang terjadi di Tiongkok dan AS menunjukkan kemewahan dan kemegahan tidak serta merta membuat sebuah mal digdaya. Ada ancaman yang lebih serius, yakni ketidakmampuan membaca pasar dan perubahan zaman.
Dalam kasus New South China Mal, kegagalan mengundang pengunjung terjadi karena proyek itu dibangun tanpa pertimbangan komersial yang matang. Dongguan adalah kota pabrik tempat hampir 10 juta penduduknya adalah pekerja migran yang berjuang untuk kehidupan. “Orang-orang datang ke sini untuk bekerja di pabrik-pabrik. Tidak memiliki waktu atau uang untuk belanja dan bermain roller coaster,” kata seorang pekerja migran berusia 20-an yang bekerja di mal.
Sedangkan di Amerika Serikat, salah satu penyebabnya gaya belanja daring yang meningkat di masyarakat. Ini membuat sejumlah jenama beralih ke sistem penjualan daring karena terbukti lebih murah meriah ketimbang biaya sewa mal yang mahal.
Di Jakarta dan Tangerang juga ada mal bernasib suram. Layu tak bisa berkembang.
Mall eX
Anak gaul Jakarta yang hobi ngemol mungkin tak asing dengan Mall eX (Entertainment x’Enter) di Thamrin, Jakarta Pusat. Mal yang resmi dibuka pada 14 Februari 2004 ini membidik muda-mudi Jakarta sebagai pangsa pasar. Bentuk dan warna bangunannya unik dan nyentrik. Beberapa penyewa besar antara lain Celebrity Fitness, Fashion TV Bar, Hard Rock Café, dan XXI. Namun, setelah 10 tahun berselang, mal yang bersambungan langsung dengan Plaza Indonesia dan Grand Hyatt ini resmi menghentikan operasinya.
Grand Serpong Mall
Grand Serpong Mal di bilangan Tangerang lebih mirip kuburan ketimbang pusat perbelanjaan. Sunyi dan seram. Ruang parkirnya sepi kendaraan. Tak ada seorang pun petugas keamanan yang berjaga di pintu masuk. Sebuah kedai kopi asal Korea yang buka di sebelah pintu masuk utama dan rumah makan di sisi mal seakan malas menanti pembeli.
Situasi di dalam mal lebih mengenaskan. Gelap dan nyaris hening. Lampu-lampu ruangan mati. Kebanyakan eskalatornya tak berfungsi. Ratusan toko tutup. Hanya ada dua mini market dan sebuah usaha penatu yang terlihat beroperasi.
Dari empat lantai, satu-satunya nada kehidupan ada di lantai dasar. Di sana ada satu perusahaan ritel berkonsep grosir dan beberapa lapak warung makan. “Memang keadaannya begini (sepi). Apalagi Sabtu dan Minggu,” kata Asep, penjaga minimarket.
Meski begitu, penyebab kegagalan Grand Serpong Mal agak berbeda dari yang terjadi di Tiongkok maupun Amerika. Dari segi akses, lokasi mal ini tidak jelek-jelek amat. Posisinya lumayan strategis. Persis di pintu keluar tol Tangerang dan dilalui sejumlah rute angkutan umum. Selain itu, fasilitas penunjang di mal terbilang komplet. Di sana ada restoran, hotel, apartemen, wahana kolam renang, hingga arena bermain anak.
Sedangkan toko daring, meski trennya cukup menguat tetapi belum berpengaruh signifikan dalam menggerus penjualan di mal. Indikasinya bisa menengok laporan keuangan PT Mitra Adi Perkasa (MAP) Indonesia, perusahaan ritel gaya hidup yang memiliki 2.000 gerai di seluruh Indonesia dan memegang portofolio lebih dari 150 merek. Dalam tujuh tahun terakhir laba bersih MAP terus meningkat: Rp4,7 triliun (2010), Rp5,9 triliun (2011), Rp7,6 triliun (2012), Rp9,7 triliun (2013), Rp11,8 triliun (2014), Rp12,8 triliun (2015), dan Rp14,2 triliun (2016).
Digerus Pesaing Sebelum menghadapi situasi suram seperti sekarang, Grand Serpong Mall pernah menikmati masa-masa kejayaan. Di masa awal beroperasinya pada 2005, mal ini menjadi tujuan utama warga Tangerang berbelanja. Namun, seiring munculnya pesaing baru di sekitar, mal ini mulai ditinggalkan pengunjung.
Dalam radius sekitar 5 kilometer, mal ini dikepung oleh setidaknya 5 mal baru: Tangerang City, Transmart Mal, Summarecon Mal, Living World Mal, Alam Sutera Mal, dan Teras Kota Mal.
“Mungkin dengan adanya mereka, kami kalah. Ya mereka kan mal baru biasanya ramai. Ditambah catchment area mereka bagus,” ujar Diding, kepala area Grand Serpong Mall.
Lebih dari memiliki kemegahan bangunan, kemodernan fasilitas, dan lokasi strategis, para pesaing Grand Serpong Mall hadir menawarkan impian. Di sejumlah kota besar, mal memang bukan lagi sekadar tempat berbelanja. Mal telah menjadi gaya hidup tempat orang-orang menghabiskan waktu untuk bertamasya, berbagi cerita, rapat kerja, hingga menunjukkan status sosial.
Di mal kita bisa menemukan apa saja: restoran, kedai kopi, taman bermain anak, toko buku, pusat kebugaran, pusat perawatan tubuh, dokter kecantikan, supermarket, karaoke, galeri seni, bioskop, gereja dan musala. Pendeknya, mal menjadi toko serba ada yang siap memanjakan anda.
Meski berada dalam situasi suram, Diding masih optimis Grand Serpong Mall akan kembali bangkit. Menurutnya manajemen telah memikirkan konsep penyelamatan dengan menjadikan mal sebagai area perkantoran.
“Kami tidak bisa bersaing dengan mereka. Jadi kami enggak bikin lagi arahnya ke shopping mall," ujarnya. "Tapi kami mau arahkan ke office. Jadi kita sewa-sewakan space untuk office.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar